Ketika Sanksi Adat Dayak Kualan Berhadapan dengan Hukum Negara
ketapangnews.web.id Kasus yang menimpa Tarsisius Fendy Sesupi, Kepala Adat Dusun Lelayang di Ketapang, Kalimantan Barat, membuka kembali diskusi panjang tentang posisi hukum adat dalam sistem hukum nasional. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana praktik sanksi adat yang telah lama hidup di tengah masyarakat bisa berujung pada persoalan hukum pidana ketika berhadapan dengan kepentingan korporasi dan aparat penegak hukum.
Bagi masyarakat adat Dayak Kualan, hukum adat bukan sekadar tradisi, melainkan sistem nilai yang mengatur kehidupan sosial, relasi dengan alam, serta penyelesaian konflik. Namun dalam konteks negara modern, praktik tersebut kerap berhadapan dengan tafsir hukum formal yang berbeda.
Kepala Adat Tak Menyadari Status Hukum yang Dilekatkan
Tarsisius Fendy Sesupi mengaku tidak pernah mengetahui bahwa dirinya masuk dalam daftar pencarian orang. Informasi tersebut justru diterimanya secara tidak langsung ketika menghadiri sebuah kegiatan publik di Pontianak. Situasi tersebut mengejutkan, mengingat selama ini ia merasa kooperatif dan tidak pernah menghindari proses hukum.
Pendamping hukum dari organisasi masyarakat sipil yang mendampinginya mempertanyakan prosedur penegakan hukum yang dilakukan aparat. Mereka menilai penanganan perkara ini janggal karena tidak disertai dokumen resmi yang seharusnya ditunjukkan kepada pihak yang akan diamankan.
Setelah melalui negosiasi yang cukup panjang, aparat akhirnya membatalkan upaya penangkapan dan menyepakati agenda pemanggilan ulang secara resmi.
Kritik terhadap Prosedur Penegakan Hukum
Direktur Eksekutif Link-AR Borneo menilai tindakan aparat tersebut tidak lazim. Sejak dipanggil sebagai saksi dalam proses penyelidikan, Fendy tidak pernah lagi dimintai keterangan lanjutan. Oleh karena itu, munculnya status hukum yang lebih berat tanpa komunikasi yang jelas dinilai menimbulkan pertanyaan serius.
Kondisi ini memunculkan kekhawatiran akan adanya ketidakseimbangan perlakuan hukum, terutama ketika yang berhadapan dengan proses pidana adalah tokoh adat yang selama ini vokal menyuarakan hak masyarakat.
Sanksi Adat yang Dipersoalkan
Perkara ini berakar pada penjatuhan sanksi adat oleh Masyarakat Adat Dayak Kualan terhadap sebuah perusahaan pemegang izin usaha kehutanan. Sanksi tersebut dikenal sebagai batang adat atau tebusan adat, yang diberikan karena adanya konflik lahan, penggusuran tanaman, serta dampak ekonomi yang dirasakan warga.
Dalam praktik adat Dayak Kualan, sanksi ini merupakan mekanisme penyelesaian konflik yang sah dan telah dijalankan secara turun-temurun. Tujuannya bukan semata-mata denda, melainkan pemulihan hubungan sosial dan tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan.
Kesepakatan yang Berubah Makna
Awalnya, sanksi adat diminta dalam bentuk benda-benda adat seperti tempayan dan perlengkapan ritual. Namun perusahaan menyampaikan ketidakmampuan menyediakan barang tersebut dan mengusulkan penggantian dalam bentuk uang.
Kesepakatan pun dicapai melalui musyawarah. Pembayaran dilakukan melalui transfer ke rekening kepala adat sebagai perwakilan komunitas, disertai berita acara. Dana tersebut kemudian digunakan untuk membeli perlengkapan adat sesuai kesepakatan bersama.
Bagi masyarakat adat, mekanisme ini sah dan sesuai dengan nilai adat yang berlaku. Namun dalam proses hukum negara, tindakan tersebut justru ditafsirkan sebagai pemerasan atau pemaksaan.
Kriminalisasi atas Nama Hukum
Pendamping hukum menilai penerapan pasal pidana dalam kasus ini sebagai bentuk kriminalisasi terhadap praktik hukum adat. Penagihan sanksi adat diposisikan sebagai tindak pidana, padahal konteksnya adalah penyelesaian konflik berbasis adat yang telah disepakati bersama.
Lebih jauh, kasus ini dianggap sebagai strategi hukum untuk melemahkan partisipasi masyarakat adat dalam mengawal pembangunan dan mempertahankan wilayah hidup mereka. Tokoh adat yang vokal berisiko berhadapan dengan jerat hukum ketika memperjuangkan hak komunitasnya.
Konflik Lahan yang Berkepanjangan
Wilayah konsesi perusahaan yang terlibat konflik membentang sangat luas dan meliputi wilayah adat Dayak Kualan. Sejak awal, kehadiran perusahaan tersebut telah ditolak oleh masyarakat adat setempat. Laporan masyarakat sipil menyebut konflik berkepanjangan berujung pada perampasan lahan, hilangnya akses terhadap hutan adat, serta tekanan hukum terhadap warga.
Dalam konteks ini, sanksi adat dipandang sebagai bentuk perlawanan yang sah dan damai, dibandingkan tindakan anarkis atau kekerasan.
Hukum Adat dalam Perspektif Konstitusi
Secara konstitusional, keberadaan masyarakat adat dan hukum adat diakui oleh negara. Namun dalam praktik, pengakuan tersebut kerap belum sepenuhnya diterjemahkan dalam penegakan hukum di lapangan.
Kasus yang menimpa Kepala Adat Dayak Kualan menunjukkan adanya jurang antara pengakuan normatif dan implementasi nyata. Ketika hukum adat dijalankan, risiko kriminalisasi masih menghantui para pemangku adat.
Tuntutan Perlindungan bagi Masyarakat Adat
Aktivis dan pendamping masyarakat adat mendesak pemerintah untuk menjamin perlindungan hukum bagi masyarakat adat dalam menjalankan sistem hukumnya sendiri. Mereka meminta agar tuduhan pidana terhadap Fendy dicabut dan praktik kriminalisasi dihentikan.
Selain itu, mereka menuntut agar konflik lahan diselesaikan secara adil, dengan menghormati hak-hak masyarakat adat serta kewajiban perusahaan terhadap dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan.
Persoalan yang Lebih Luas dari Sekadar Satu Kasus
Kasus ini tidak berdiri sendiri. Ia mencerminkan persoalan struktural yang dihadapi banyak masyarakat adat di Indonesia, yakni benturan antara hukum negara, kepentingan investasi, dan hukum adat.
Selama belum ada mekanisme yang jelas untuk mengintegrasikan hukum adat dalam sistem penegakan hukum nasional, potensi konflik serupa akan terus terjadi.
Penutup
Perkara yang menimpa Kepala Adat Dayak Kualan menjadi cermin rapuhnya perlindungan hukum bagi masyarakat adat. Ketika sanksi adat yang dijalankan secara kolektif dan terbuka berujung pada jerat pidana, maka keadilan substantif patut dipertanyakan.
Kasus ini menegaskan urgensi penataan ulang relasi antara hukum adat dan hukum negara. Tanpa perlindungan yang nyata, masyarakat adat akan terus berada dalam posisi rentan, meski konstitusi telah mengakui keberadaan dan hak-hak mereka.

Cek Juga Artikel Dari Platform rumahjurnal.online
